Brand Dan Advertising Bukanlah Seni, Tetapi Bisnis Yang Serius

Terjebak dalam sebuah subjektivitas seni dan kreativitas. Itulah yang saya rasakan dari orang-orang advertising. Itulah yang saya rasakan saat membaca ad review dari Majalah Mix edisi 08|III|25 Agustus – 20 September 2006. Mereka mengomentari berbagai iklan televisi, print ad dan billboard. Intinya yang disorot adalah masalah eksekusi dan ide dan pesan. Walaupun masukan mereka bagus untuk segi komunikasi dan artistik iklan tersebut, tetapi tidak satupun dari orang-orang iklan tersebut yang membahas apakah iklan tersebut akan menaikkan penjualan atau tidak. Saya lebih suka dengan pendapat dari sebuah buku yang berjudul “How To Write Ads That Sell” oleh salah seorang pendiri BBDO, bahwa iklan yang baik adalah iklan yang menjual. Tidak peduli bentuknya. Tidak peduli lay-outnya, tidak peduli isi pesannya, positioning-nya, iklan yang baik adalah iklan yang menjual. Titik. Demikian pula dalam bukunya yang luar biasa, Dwi Sapta Advertising menyatakan bahwa rahasia sukses mereka adalah jualan, jualan, dan dodolan.
Adalah sebuah kesalahan yang tidak wajar jika iklan dibuat hanya untuk mencapai tujuan-tujuan di luar penjualan, seperti awareness, association, dan sebagainya. Dengan tekanan kompetisi yang sedemikian kuat, kemampuan iklan untuk menjual justru semakin penting. Saya termasuk marketer yang percaya bahwa keberhasilan marketer akhirnya ditentukan oleh satu hal : meningkatnya penjualan. Saya tidak percaya bahwa marketer hanya bertugas memikirkan branding tanpa meningkatkan penjualan. Branding yang tidak diukur dari meningkatnya penjualan, adalah sama seperti galeri seni yang didatangi dan dikagumi banyak orang, tapi tidak menjual satu lukisan pun. Pada akhirnya, galeri seni seperti itu akan tutup karena tidak mampu menanggung biaya operasionalnya lagi. Kecuali jika ada seorang kaya yang memiliki galeri itu sebagai hobi. Tetapi sebuah brand bukanlah hobi. Brand adalah bisnis yang serius. Yang hidup matinya ditentukan oleh penjualan dan profit dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Bukan bicara penjualan sebulan, setahun. Tetapi lima tahun ke depan, sepuluh tahun ke depan, dan kalau perlu hingga akhir masa. Dan berbicara brand tidak mungkin tidak berbicara penjualan.
Sebuah brand tidak bisa menunggu terlalu lama untuk meningkatkan penjualannya. Tanpa strategi yang solid dan kemampuan taktikal yang memadai, sebuah brand tidak akan mampu menghidupi dirinya sendiri. Di sinilah peran marketer masa depan. Marketer yang lebih sales-oriented akan semakin dicari, karena dengan tuntutan kompetisi yang semakin memuncak, menjadi tidak cost effective bagi perusahaan-perusahaan untuk menggaji orang marketing yang hanya jago branding atau bermain iklan, tetapi tidak jago meningkatkan penjualan brand-nya.
Lalu bagaimana seorang marketer bisa meningkatkan penjualan brand-nya? Sederhana sekali. Turun ke pasar. Lakukan riset, baik secara formal, maupun secara stealth. Jadilah mystery shopper di outlet-outlet yang menjajakan produk Anda dan produk kompetitor. Maju ke medan tempur. Seperti di medan perang, para letnan dan perwira-perwira yang hebat adalah yang maju paling depan di medan perang, memimpin para prajuritnya. Demikian pula marketer yang hebat dan efektif adalah yang ikut terjun ke pasar, kalau perlu bersama para sales mendengarkan keluhan customer atau consumer. Setiap masukan yang dibawa bisa diubah menjadi senjata yang mampu meningkatkan penjualan. Memang akan sangat tidak nyaman bagi para fellow marketers yang biasa duduk di belakang meja untuk turun ke jalan, berhadapan hidung ke hidung dengan customer, distributor, atau consumer, untuk mencari tahu seperti apa persepsi mereka terhadap brand yang dipegang-nya. Untuk mendengarkan berbagai keluhan. Untuk mendengarkan bantahan mereka terhadap unique selling proposition dan positioning yang sudah susah payah kita ciptakan. Tetapi ini harus dan wajib hukumnya dilakukan, jika sang marketer ingin dapat menyesuaikan strategi dan taktik marketing-nya dengan preferensi konsumen, untuk selanjutnya menangguk penjualan yang lebih besar.
Logika brand yang sukses sebenarnya sederhana sekali : temukan suara sejati konsumen, yang mewakili segmen atau kelas yang paling profitable, lalu penuhi apa yang diminta oleh segmen yang paling profitable itu. Ini dilakukan, maka penjualan sebuah brand akan meledak. Jadi, hanya ada tiga langkah :
1. Cari tahu dan dengarkan suara segmen konsumen yang paling profitable
2. Penuhi permintaan konsumen itu melalui berbagai marketing mix
3. Siap-siap sediakan stok produk karena tak lama lagi, Anda bisa stok out akibat penjualan yang meningkat Dengan logika yang demikian sederhana, mengapa banyak marketer yang belum berhasil menerapkannya? 

Blog, Updated at: 8:30 PM